dailydelawarenews.com – Di perairan yang membentang antara Korea Selatan dan China, sebuah pemandangan tak biasa mulai mengusik perhatian banyak pihak. Struktur laut berbentuk segi delapan raksasa dan bekas rig pengeboran minyak yang diderek masuk ke wilayah sengketa, diklaim sebagai fasilitas budidaya ikan laut dalam oleh pihak China. Namun, di mata publik Korea Selatan, benda-benda raksasa itu punya potensi lebih dari sekadar tambak salmon.
Dalam beberapa pekan terakhir, kekhawatiran ini makin terasa nyata. Parlemen Korea Selatan melalui koChinamite kelautannya mengeluarkan resolusi yang menyebut struktur tersebut sebagai “ancaman terhadap keselamatan maritim”. Resolusi ini didukung lintas partai, menandakan keseriusan Seoul dalam menanggapi perkembangan ini.
Laporan dan Citra Satelit Picu Alarm
Lembaga riset Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington turut menyoroti persoalan ini dalam laporannya. Dengan memanfaatkan citra satelit dan berbagai data pendukung, mereka mengungkapkan bahwa meski tujuan utamanya tampak untuk budi daya ikan, namun struktur tersebut juga berpotensi digunakan untuk kepentingan militer seperti pengumpulan data bawah laut.
CSIS menyoroti bahwa ini bukan pertama kalinya China menggunakan pendekatan ganda semacam ini. Di Laut Cina Selatan, proyek serupa awalnya diberi label sipil, namun secara perlahan berubah menjadi pangkalan militer penuh.
Mengulang Pola dari Selatan ke Utara
Kekhawatiran muncul karena pola ini sangat mirip dengan pembangunan pulau buatan di Laut Cina Selatan. Kala itu, China menyatakan tujuan pembangunan adalah untuk kepentingan sipil, namun belakangan berubah menjadi instalasi militer yang memicu ketegangan dengan negara-negara ASEAN seperti Filipina dan Vietnam.
Kini, kekhawatiran tersebut beralih ke Laut Kuning, atau yang oleh Korea disebut Laut Barat. Bagi Seoul, tindakan ini bukan hanya soal zona ekonomi eksklusif, melainkan juga masalah kedaulatan dan pengaruh strategis.
Ujian Pertama Pemerintahan Baru
Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, yang baru saja menjabat, menghadapi tantangan diplomatik serius. Di satu sisi ia ingin memperbaiki hubungan dengan Beijing, di sisi lain ia juga harus memperkuat kemitraan strategis dengan Amerika Serikat.
Lee berencana bertemu dengan Presiden Xi Jinping dalam KTT APEC di Gyeongju pada November mendatang. Pertemuan ini diprediksi akan menjadi penentu arah hubungan kedua negara di tengah meningkatnya tensi perairan.
Kesepakatan Lama Jadi Celah Baru
Perlu diketahui bahwa struktur-struktur ini dibangun di area yang dikenal sebagai Provisional Measures Zone (PMZ), hasil kesepakatan tahun 2001 antara Korea Selatan dan China. PMZ memungkinkan kedua negara melakukan aktivitas perikanan, namun tidak mencakup budidaya laut seperti yang sekarang dilakukan oleh China. Celah inilah yang mempersulit posisi Korea Selatan dalam menuntut agar struktur tersebut dibongkar.
Ketegangan Meningkat, Balasan Dipertimbangkan
Insiden pada bulan Februari lalu semakin memperkeruh suasana, ketika kapal survei Korea Selatan dihalangi oleh kapal penjaga pantai dan kapal sipil China saat mencoba melakukan inspeksi langsung di lokasi. Korea Selatan merespons dengan mengerahkan kapal patroli, menyebabkan konfrontasi laut selama dua jam.
Beberapa anggota parlemen menyerukan agar Korea Selatan juga membangun struktur akuakultur di lokasi yang sama sebagai bentuk respons proporsional. Selain itu, peningkatan pemantauan maritim dengan kapal survei khusus juga mulai dipertimbangkan.
Risiko Strategis dan Koordinasi Regional
Analis dari Lembaga Riset Majelis Nasional, Chung Min-jeong, menyampaikan bahwa jika struktur ini digunakan untuk pemantauan, blokade, atau mengganggu jalur laut, maka risiko terhadap kedaulatan Korea Selatan akan meningkat signifikan. Dalam skenario ini, kerja sama trilateral antara Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang dinilai penting untuk menghadapi ekspansi maritim China.
Di saat yang sama, aktivitas militer China di sekitar Semenanjung Korea juga meningkat. Kapal induk terbaru China, Fujian, tercatat melakukan latihan penerbangan tempur di Laut Kuning, sementara wilayah di sekitarnya dinyatakan sebagai zona larangan berlayar.
Kesimpulan
China mungkin menyebut strukturnya sebagai tambak ikan biasa, namun perkembangan di lapangan menunjukkan hal yang lebih kompleks. Dengan sejarah manipulasi sipil-militer yang sudah terbukti di wilayah lain, Korea Selatan tentu tak bisa tinggal diam. Dialog dan diplomasi perlu terus dijalankan, tapi kesiapsiagaan juga tak bisa diabaikan.
dailydelawarenews.com akan terus memantau setiap perkembangan yang terjadi, termasuk potensi pertemuan puncak antara pemimpin kedua negara dan dampaknya terhadap stabilitas regional.